Review : Ranah 3 Warna

Judul : Ranah 3 Warna
Halaman : 473
Cetakan : Januari 2011

Sinopsis
Alif baru saja tamat dari Pondok Madani. Dia bahkan sudah bisa bermimpi dalam bahasa Arab dan Inggris. Impiannya? Tinggi betul. Ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie, lalu merantau sampai ke Amerika.

Dengan semangat menggelegak dia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia mampu lulus UMPTN. Lalu dia sadar, ada satu hal penting yang dia tidak punya. Ijazah SMA. Bagaimana mungkin mengejar semua cita-cita tinggi tadi tanpa ijazah?

Terinspirasi semangat tim dinamit Denmark, dia mendobrak rintangan berat. Baru saja dia bisa tersenyum, badai masalah menggempurnya silih berganti tanpa ampun. Alif letih dan mulai bertanya-tanya: "Sampai kapan aku harus teguh bersabar menghadapi semua cobaan hidup ini?" Hampir saja dia menyerah.

Rupanya "mantra" man jadda wajada saja tidak cukup sakti dalam memenangkan hidup. Alif teringat "mantra" kedua yang diajarkan di Pondok Madani: man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Berbekal kedua mantra itu dia songsong badai hidup satu persatu. Bisakah dia memenangkan semua impiannya?

Ke mana nasib membawa Alif? Apa saja 3 ranah berbeda warna itu? Siapakah Raisa? Bagaimana persaingannya dengan Randai? Apa kabar Sahibul Menara? Kenapa sampai muncul Obelix, orang Indian dan Michael Jordan dan Kesatria Berpantun? Apa hadiah Tuhan buat sebuah kesabaran yang kukuh?

Review
Ranah 3 Warna adalah hikayat bagaimana impian tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup terus digelung nestapa tak berkesudahan. Tuhan sungguh bersama orang yang sabar.
Siapa saja boleh bermimpi, siapapun dia, bagaimanapun latar belakang keluarga, ekonomi maupun pendidikannya. Yang dibutuhkan adalah fokus, sungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Namun ketika usaha itu tak kunjung membuahkan hasil, malah mendatangkan cobaan bertubi-tubi, kesabaran jadi kunci utamanya, man shabaa zhafira.

Bagi yang sudah membaca novel Negri 5 Menara pasti sudah kenal dengan tokoh utamanya yang bernama Alif. Diceritakan bahwa Alif telah menyelesaikan masa belajarnya di Pondok Madani di Ponorogo.

Dengan semangat yang membara untuk segera kuliah, kembalilah ia ke kampung halamannya di Maninjau. Saat di kampung halaman Alif bertemu kembali dengan Randai sahabatnya. Kebetulan Randai sedang libur panjang dari ITB. Mimpi alif yang ingin belajar teknologi tinggi di Bandung seperti Habibie diragukan oleh sahabatnya itu, mana mungkin Alif bisa lulus UMPTN dan kuliah disana tanpa ijazah SMA. Dari sinilah alif berjanji pada dirinya sendiri bahwa bagaimanapun caranya ia harus segera kuliah. Jalan satu-satunya ya dengan ikut ujian persamaan terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah SMA. Buku-buku dan catatan ia kumpulkan. Buku pelajaran SMA yang belum pernah ia pelajari pun didapat dari meminjam pada teman didekat rumahnya. Berbukit-bukit buku yang ia kumpulkan tak membuat semangatnya melorot.

Dipeganglah mantra Man jadda wajada sebagai motivasi kalau sedang kehilangan semangat. Akhirnya ujian persamaan datang juga. Dilepas doa dari Amak dan Ayah, Alif maju ke medan perang. Beberapa minggu kemudian pengumuman pun tiba, Alif hanya mendapatkan nilai rata-rata 6,5 dan ia tak tahu harus bersyukur atau prihatin. Selanjutnya Alif berhadapan dengan pertarungan yang lebih ketat yaitu UMPTN. Ia pun belajar lebih keras lagi. Terkadang rasa bosan datang menghampiri, ia membisikkan ke diri sendiri nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” Jangan menyerah. Menyerah berarti menunda masa senang di masa datang.
Tibalah hari penentuan dimana UMPTN diadakan. Dengan menggumamkan bismillah mulailah Alif berkutat dengan soal-soal ujian itu. Hari demi hari berlalu, hari dibacakan pengumumannya pun tiba. Alif dan Ayah menelusuri angka-angka nomor peserta di surat kabar Haluan. Dan hasilnya Alif diterima di jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, walaupun sebenarnya impian ia di Teknik Penerbangan ITB.

Hari sebelum keberangkatan Alif ke Bandung, Ayah Alif membelikan sepasang sepatu kulit berwarna hitam. Sepatu inilah yang menapak di tanah perjalanan Alif yaitu Maninjau, Bandung dan Kanada. Itulah sebabnya novel ini diberi judul Ranah 3 Warna.

Novel ini memakai alur maju, karena dalam ceritanya tidak terdapat kilas balik sehingga membuat pembaca penasaran apa yang akan terjadi di kisah selanjutnya.

Alur ceritanya yang menarik, membuat saya merasakan suasana yang sama seperti Alif rasakan. Ketika sang ayah meninggal, saya tak kuasa meneteskan air mata. Begitu juga ketika Alif terpilih menjadi Duta dari Indonesia untuk pergi ke Kanada, saya ikut gembira,

Pesan moral
Salasaian apo yang alah waang mulai,selesaikan apa yang sudah kamu mulai

Sabar itu awalnya terasa pahit, tetapi akhirnya lebih manis daripada madu

Janganlah cepat mudah putus asa dalam meraih cita cita walaupun banyak rintangan yang harus kita hadapi karena Tuhan pasti memberikan jalan yang terbaik.

nasihat Imam Syafi’i, “berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.” Jangan menyerah. Menyerah berarti menunda masa senang di masa datang.

Kesimpulan
banyak hikmah-hikmah yang dapat kita petik dan pelajari dari kandungan didalamnya. Banyak kalimat-kalimat motivasi yang penulis berikan didalam novel ini

Rating
4 bintang dari 5